Selasa, 13 Maret 2012 - 10:39:13 WIBDr.H.M Hidayat Nur Wahid, M.ADiposting oleh : Administrator
Kategori: tokoh
- Dibaca: 149 kali
Tweet
Dr. Haji Muhammad Hidayat Nur Wahid, M.A. (lahir di Klaten, Jawa Tengah, 8 April 2024) adalah Ketua MPR RI untuk periode 2004-2009 dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera dari 21 Mei 2000 hingga 11 Oktober 2004.Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR RI periode 2004-2009 setelah mengalahkan saingannya, Sucipto dengan selisih dua angka yang diusung Koalisi Kebangsaan.
Hidayat Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat
Nur Wahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak
sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya
bersyukur karena menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan
cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini
menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.
Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana
Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta,
yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga
akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya
sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke
Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir
bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.”
Semboyan ini tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak
dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika
moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum
masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam
pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang
didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang
tidak ia dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok
Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan
menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri
berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama
atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian
menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI)
al-Haramain, Hidayat Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada
1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Kecerdasan Hidayat
Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon
Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru,
Hidayat mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum
masuk sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho
kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik
ayahnya dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai
sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari
besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti
banyak kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga
mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga
diangkat menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan
ketika duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula
sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor
tahun 1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada
jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat
bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur
Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas
Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu
menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat
Nur Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas
Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila).
Hidayat Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan
predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud
min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk
melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum
dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian
itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan
program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî
Indonesia, Ard wa Dirasah.
Selepas S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid
sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan
pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada
1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan judul disertasi
Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.
Melihat
seluruh riwayat pendidikan akademisnya, kecuali SDN Kebon Dalem Kidul,
tampak Hidayat Nur Wahid tercermin sebagai seorang ahli dalam agama
Islam.
Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang
wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui
proses ta’aruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur
Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.
Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai
sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh
toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui
keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan
Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada
era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan
Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah
studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut
Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan
Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’
mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid
Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah
cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada
Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air.
Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur
Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff
al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai
Keadilan (PK).
Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan
program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam
Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur
Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam
(LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren.
Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia
menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan
sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema
pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian,
sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh
rasa hormat kepada Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif,
Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin
menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan oleh
semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang
tinggi, menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang
membawa pada pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya,
dan sejenisnya. Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa
merupakan hal yang wajar jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak
Nur.
Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum
Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum
(LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf
Pondok Modern Gontor.
Dalam bidang akademis, sebagai bentuk
pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan
diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada
Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur
Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas
Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial
dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas
pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh
gabungan beberapa organisasi massa dan politik,[8] untuk memimpin
demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia
untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka
menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.
Sebelumnya Pada tahun
2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy
Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua
koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi
yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama
seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara
Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa
keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh
keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu.
Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung
Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat
Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat
mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang
ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar
terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama,
keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh
perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah
al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la
ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam
kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan
pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan
bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya
sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh
bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks
politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia
menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000,
menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus
berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas
jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang
melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah
terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat sebagai
Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan
Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal
sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20
Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden
partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat
segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang
luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan
terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra
membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal
tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai
politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan
partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik
harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan
apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu.
Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS
Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka
basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi
berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas.
Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya.
Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang
jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang
banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas,
maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah
menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai
peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada
segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid.
Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan,
Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang
tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan
yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan
partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen
tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas
segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak
tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat
apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat
pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan
terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor
konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami
penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga, adalah
faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid berpandangan
bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan tidak mengalami
stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka jalinan komunikasi
dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses massa harus lebih
mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa peran media massa
sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan aspirasi politik
publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat memenuhi pandangan
masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan haruslah menjadi partai
besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan secara massif dan terus
menerus dengan target dominannya nilai-nilai dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial, bagaimanapun Hidayat memahami bahwa
kegiatan partai adalah kegiatan yang bersifat massal dan harus
terprogram secara professional, sehingga diperlukan adanya terobosan
agar kebutuhan finansial partai dapat terpenuhi secara mandiri.
Pada
tahun 2003, Hidayat Nur Wahid kemudian memimpin Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang sebetulnya merupakan metamorfosa dari Partai
Keadilan. Di bawah kepemimpinannya, meskipun ini bukan merupakan
satu-satunya faktor, Partai Keadilan Sejahtera berhasil melipatgandakan
suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu
1999 hanya memperoleh 1,4% suara nasional, meraih 7,34% pada pemilu
2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan
tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut Saiful Mujani,[14] amat
mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai
yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas
Amien Rais.
Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan
Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah
mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang
berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6
Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal
luas sebagai tokoh yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Menurut Azyumardi Azra fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua
kiprah PKS diatas merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai
mainstreaming of Islamic politics, pengarusutamaan politik Islam,
sebagaimana dipahami dan ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini
Hidayat Nur Wahid semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan
terpencil dari hiruk pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia
menjadi aktor dan pelaku yang cukup menentukan.
Hidayat Nur Wahid
memang tidak menghasilkan banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan
terutama politiknya yang mencerminkan ketinggian moral, telah menuai
banyak simpati dan pujian.
Sumber: id.wikipedia.org,dakwatuna.com
0 Komentar :
Isi Komentar :