JAKARTA--Rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU
yang menolak pilkada langsung mendapat respons dari Komisi II DPR.
Komisi yang membidangi pemilu, pemerintahan, pertanahan, dan otonomi
daerah itu menganggap rekomendasi yang disampaikan NU terlalu
menggeneralisasi pilkada dari sisi negatif.
"Mungkin itu bentuk keprihatinan, namun jangan digeneralisasi," ujar
anggota Komisi II DPR Nurul Arifin di gedung parlemen, Jakarta, kemarin
(17/9).
Nurul yang juga anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan, pemilihan
langsung baru berjalan tiga kali di setiap daerah. Tidak bisa proses
yang ada memunculkan defisit moral di kalangan masyarakat. Menurut dia,
pilkada adalah proses pembelajaran menuju demokrasi yang ideal. "Biarkan
proses itu berlangsung," kata Nurul.
Dia tidak sependapat jika pola pemilihan langsung dianggap sistem yang
keliru karena mengadu domba publik. Menurut dia, rekomendasi NU tidak
bisa kemudian mereduksi sistem yang sudah disepakati bersama. "Demokrasi
memang bisa perwakilan, bisa langsung. Tapi, demokrasi langsung itu
kemewahan rakyat," jelasnya.
Jika pemilihan tidak langsung dilakukan di pilgub, Nurul menilai hal itu
bisa saja dibahas. Sebab, gubernur dianggap wakil pemerintah pusat.
Namun, untuk pemilihan bupati/wali kota, tidak ada alasan untuk
menyelenggarakan pemilihan melalui perwakilan. "Kalau di kabupaten/kota
tidak reasonable. Apakah kemudian dipilih DPRD bisa memegang amanah.
Uangnya (politik uang, Red) sama, tapi beredar di elite," tandasnya.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo (PDIP) menilai, jika metode pilkada
memberikan kesempatan politik transaksional, politik uang adalah
konsekuensi yang harus ditanggung. Saat ini, sudah ada solusi yang bisa
dilakukan untuk menghindari politik uang itu. "Solusinya ya (pilkada)
diserentakkan," kata Arif.
Pilkada serentak, ujar Arif, akan secara masif mengurangi biaya politik
pilkada. Penetapan calon sebaiknya dilakukan dalam waktu lama sebelum
pemungutan suara dimulai. "Kewenangan kepala daerah terhadap dana-dana
tak terduga juga harus dibatasi. Ini celah politik uang," tandasnya.
Di bagian terpisah, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengatakan,
pelaksanaan otonomi daerah memang bisa asimetris. Dia mencontohkan,
sistem pilkada antardaerah tidak harus sama. Bagi daerah yang pendidikan
dan kesejahteraan masyarakatnya sudah baik dan siap berdemokrasi secara
santun, bisa diadakan pilkada langsung.
Sebaliknya, bagi daerah yang masyarakatnya belum siap mempraktikkan
pilkada langsung, bisa ditempuh mekanisme perwakilan melalui DPRD.
Lukman menambahkan ada juga daerah seperti Jogjakarta yang karena
kekhususannya tidak mungkin "dipaksakan" untuk menjalankan pilgub
langsung sampai kapan pun. "Jadi, silakan saja masing-masing daerah
menentukan," tegas wakil ketua umum PPP itu.
Lukman menyampaikan, Kemendagri tengah mengkaji kemungkinan pilgub
dikembalikan kepada DPRD. Menurut dia, mungkin saja konsep itu bisa
diterapkan untuk daerah-daerah tertentu. Tetapi, tidak diberlakukan
kepada semua daerah. "Justru di sini kebhinekaan itu diakomodasi dalam
demokrasi kita," tegasnya.
Soal mekanisme pilkada, Lukman mengusulkan itu diserahkan kepada setiap
daerah untuk mengaturnya melalui perda. Dalam proses perumusan perda
itu, imbuh dia, DPRD dan kepala daerah harus melibatkan tokoh-tokoh adat
dan masyarakat luas. "Supaya betul-betul merepresentasikan kehendak
mayoritas masyarakat di situ," tandas Lukman.
Sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola mengakui pelaksanaan pilkada langsung
sejauh ini memang masih diwarnai berbagai fakta negatif. Mulai dari
money politics sampai munculnya praktik politik dinasti. "Suami
selesai, diganti istri dan anak. Ada semacam rezim mafia dari penguasa
di daerah," katanya.
Meski begitu, Thamrin tidak sepakat kalau mekanisme pilkada langsung
dikembalikan kepada DPRD. Menurut dia, opsi itu sama saja dengan
mengembalikan praktik oligarki ala Orba. Pelaksanaan pilkada akan penuh
praktik dagang sapi dan publik tidak punya jangkauan untuk
mempengaruhinya. "Ini lebih bahaya daripada sekarang (pilkada langsung,
Red)," tandas Thamrin.
Sumber : JPNN.COM